oleh Salim A. Fillah dalam
Rajutan Makna. 29/09/2015
“..Kabar-kabar tentang Paduka telah sampai pada kami
bersinar bagai permata. Tetapkanlah hati. Paduka akan beruntung jika
Paduka bekerja semata karena takwa pada Allah. Janganlah takut akan
kemalangan dan jauhilah segala perbuatan jahat. Jika orang melakukan
yang demikian, akan dia temukan surga tanpa awan dan bumi tanpa
kotoran..”
Surakarta, 1772.
Tiga surat berbahasa Arab beserta bendera bertulis “
La ilaha illallah”
yang diserahkan Patih Kasunanan, Raden Adipati Sasradiningrat itu
menggemparkan kediaman Residen F.C. Van Straalendorff. Salinan terjemah
dari salah satu nawala yang kemudian dikirim ke Batavia bahkan membuat
Gubernur Jenderal VOC, Petrus Albertus van der Parra (1761-1775) sukar
tidur, meski Sasradiningrat bersumpah bahwa tak seorang Jawapun yang
telah membaca surat itu selain dia dan
carik (sekretaris)-nya.
Penulis surat itu tinggal nun jauh di Makkah. Namanya Syaikh
‘Abdushshamad Al Jawi Al Falimbani (1704-1789), seorang ‘ulama besar di
Masjidil Haram kelahiran Palembang, penulis berbagai kitab dan yang
terpenting untuk disebut di sini di antaranya berjudul
Nashihatul Muslimin wa Tadzkiratul Mu’minin fi Fadhailil Jihadi wa Karamatil Mujahidin (Nasehat orang-orang muslim dan pengingat orang-orang mukmin tentang keutaman jihad dan kemulian para mujahid).
Alamat yang dituju adalah tiga anggota Wangsa Mataram
yang paling berkuasa di Jawa; Kangjeng Sultan Hamengkubuwana I
(1755-1792) di Yogyakarta, Sri Susuhunan Pakubuwana III (1749-1788) di
Surakarta, dan Pangeran Miji Mangkunegara (1757-1795).
Yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa oleh Carik Kertabasa adalah
surat untuk Mangkunegara, yang lalu dialihmakna ke Bahasa Belanda untuk
dikirim pada Gubernur Jenderal. Sejarawan Merle C. Ricklefs dalam
karyanya,
Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792, menduga
bahwa surat untuk Mangkunegara inilah yang paling menghasut, mengingat
Sang Pangeran “angkuh dan mudah berkelahi” serta “lebih cenderung
menggunakan kekerasan” karena “milik yang dipertaruhkannya paling kecil
dan berharap mendapat lebih besar jika terjadi pergolakan”.
Tapi patut pula diduga, surat untuk Susuhunan Surakarta, dan terutama
Sultan Yogyakarta yang pernah membuat VOC berdarah-darah dalam Perang
Palihan Nagari (1746-1755) tak kalah seru isinya. Bahkan konon surat
untuk Sultan disertai hadiah air zam-zam sebagaimana dahulu moyangnya
Sultan Agung (1613-1645) menerimanya dalam Enceh Kyai Mendung dari
Sultan ‘Utsmani, Murad IV (1623-1640) dan Syarif Makkah, Zaid ibn Muhsin
Al Hasyimi (1631-1666). Tentu saja, atas perintah Batavia semua surat
itu segera dihancurkan agar tak bocor isinya.
“..dan karena Paduka adalah keturunan Raja-raja
Mataram yang dianugerahi berkat Allah dan RasulNya. Maka keadilan Paduka
sudah diketahui di mana-mana. Lagi pula sudilah hendaknya Paduka
membaca ayat-ayat Al Quran yang berbunyi: ‘Sedikit orang dapat
mengalahkan kekuatan besar.’
Lagi pula sudilah hendaknya Paduka mempertimbangkan bahwa dalam
Quran tertulis ayat-ayat yang menyatakan: ‘Bila seseorang mati dalam
Perang Sabil, janganlah kalian katakan dia mati.’ Karena Allah telah
berfirman bahwa jiwa orang itu masuk ke dalam badan seekor burung yang
langsung membawanya ke surga.
Dan haruslah lebih-lebih Paduka camkan, karena jiwa yang mati
dalam Perang Sabil adalah bagai bunga yang harumnya tercium dari fajar
sampai petang. Ya, bahkan semua Makkah dan Madinah, beserta seluruh
negeri Melayu, takjub akan keharumannya..”
Dalam kutipan singkat kita membaca, betapa luar biasa perhatian
Syaikh ‘Abdushshamad yang ayahnya menjadi Mufti Kesultanan Kedah ini
terhadap perkembangan Nusantara dan bagaimana pemahamannya akan
kewajiban ‘Ulama untuk menasehati Umara’, menegakkan amar ma’ruf-nahi
munkar, serta mengobarkan jihad di Nusantara melawan kekuatan penjajah
kafir.
Betapapun surat-surat ini keburu dicegat oleh Patih Surakarta yang
amat setia kepada VOC dan gagal sampai pada tujuannya, tulisan kami ini
hendak memberi penghargaan kepada kurir yang telah membawanya menantang
bahaya, terombang-ambing di lautan dari Jeddah ke Aden ke Mascat ke
Gujarat ke Sailan ke Penang ke Palembang ke Batavia ke Semarang hingga
sampai di ibukota Kasunanan.
Dokumen Belanda dari salinan surat menyebut nama Haji Besari dan Haji Muhammad Idris.
Kematian Haji Besari di Surakarta sebelum sempat menyerahkan ketiga
surat inilah yang menjadikan Patih Sasradiningrat berhasil
‘mengamankannya’. Adapun nasib Haji Muhammad Idris yang kemudian diburu
oleh pasukan Sang Patih tidak jelas. Kabar burung menyebut dia
berlindung ke wilayah Kasultanan Yogyakarta.
Inilah salah satu peristiwa mula-mula yang membuat
pemerintahan VOC menyadari; mereka yang pulang dari Makkah dengan
membawa gelar Haji adalah manusia berbahaya. Bahaya bagi penjajahan.
Bahaya bagi penindasan. Bahaya bagi keterpecahan, keterbelakangan, dan
kebodohan.
Sebab mereka yang pulang dari menunaikan rukun Islam kelima ini
pastilah kuat secara sosial ekonomi, dan tentu saja beriman, tangguh
fisiknya, lagi bernyali; terbukti mampu mengarungi perjalanan pergi
pulang yang sukar dan berbahaya. Pun di Tanah Suci mereka pasti
mendapatkan wawasan internasional, ilmu agama yang kian dalam, serta
menyelami persaudaraan muslimin sedunia. Memandang keluar membaca
bentang dunia luas, serta merenung ke dalam memikirkan diri dan
bangsanya, jiwa-jiwa imani itu pasti akan membawa pulang nyala api
perjuangan untuk tanah airnya.
Serentetan peristiwa di abad selanjutnya semakin membuat pemerintah
jajahan yakin, para haji adalah manusia berbahaya. Di Yogyakarta, Sultan
Hamengku Buwana I dengan pemurah terus mengirimkan para pengulu, kaum,
kyai, dan santri perdikan untuk berhaji. Menurut Ricklefs, pada 1776 dan
1781 Sultan memberangkatkan rombongan haji. Bahkan pada 1785,
sekelompok ‘ulama ditugaskan menerima gelar resmi Sultan untuk
Hamengkubuwana I dari Syarif Makkah, disertai pembangunan Gedung Wakaf
Mataram di dekat Masjidil Haram yang akan terus menjadi tempat tinggal
para mukimin Jawa di Makkah hingga masa Hamengkubuwana VIII.
Masjid-masjid Pathok Negara-nya di Dongkelan,
Babadan, Plasakuning, dan terutama Mlangi yang dipimpin putranya
sendiri, Raden Mas Sandiya bergelar Kyai Nur Iman, menjadi pusat-pusat
keislaman yang menarik kehadiran kaum santri. Di abad baru, Tegalreja
yang dikelola permaisurinya yakni Ratu Ageng sembari mengasuh Diponegoro
kecil menambah daftar pusat syiar. Di tempat-tempat inilah para calon
haji biasanya bermukim beberapa bulan untuk mempersiapkan diri dan ilmu
sebelum diberangkatkan.
Peter Carey dalam
The Power of The Prophecy mencatat nama
Haji Badaruddin, panglima pasukan santri Suronatan yang sampai dua kali
berhaji. Ada pula Pengulu Keraton Pekih Ibrahim, Ketib Muhamad Bahwi,
Nur Samsi, Amad Ripangi, Abdullatip, Amad Anom, Ngarpani, Amad Ngali,
Amad Ngijan, Amad Masam, Amad Sangi, Nitirejo, Resomenggala, dan Kyai
Pengulu Rahmanudin.
Di Surakarta, Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820) lebih masyhur lagi
sebagai ‘sahabat kaum santri’. Pada 1812, demikian dilaporkan kepada
Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles, seperti dikutip Carey,
Susuhunan punya 24 Haji Keraton dan 51 Kyai yang digajinya secara
pribadi. Adik beliau, Pangeran Buminata, terkenal akan kedermawanannya
pada kaum ‘ulama termasuk kepada Kyai Taptajani, juga Kyai Maja beserta
saudara-saudaranya; Kyai Kasan Besari, Kyai Baderan, dan Kyai
Pulukadang.
Jejaring komunitas haji, kyai, pengulu, dan santri inilah, baik yang
ada di Kasultanan maupun Kasunanan, demikian disimpulkan dari Peter
Carey, akan menjadi tulang punggung perlawanan dahsyat Pangeran
Diponegoro kepada Pemerintah kolonial Belanda (1825-1830). Dalam daftar
yang dia susun dari
Babad Diponegoro Manado, Carey mencantumkan lebih dari 120 haji yang kemungkinan besar hadir di Selarong saat pembai’atan Diponegoro sebagai
Sultan ‘Abdul Hamid Herucakra Kabirul Mukminin Khalifatu Rasulillah Ratu Paneteg Panatagama. Beserta mereka, demikian dicatat Saleh As’ad Djamhari dalam
Strategi Menjinakkan Diponegoro, ada lebih dari 15 Syeikh, puluhan Kyai besar dan Pengulu, serta ratusan Kyai desa.
Sekali lagi, para haji adalah manusia-manusia berbahaya.
Bersama Diponegoro mereka menguras 20 Juta Gulden kas penjajah, serta
menewaskan 15.000 pasukan Belanda.
Tentu saudara-saudara mereka di Sumatera tak kalah greget. Tiga nama
jamhur; Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari VIII Kota, dan
Haji Piobang dari Tanah Datar sebagai cikal bakal Gerakan Padri telah
amat masyhur. Perubahan yang mereka bawa, dari memurnikan pengamalan
agama di Minangkabau hingga perang besar melawan tentara kolonial
Belanda, 1803-1838, amat nyata.
Abad selanjutnya mencatat nama Haji Ahmad Dahlan yang mendirikan
Persyarikatan Muhammadiyah, Haji Hasyim Asy’ari yang membidani Jam’iyyah
Nahdlatul ‘Ulama, Haji Rasul dengan Sumatera Tawalib, dan jejaring
jama’ah haji yang menjadi murid-murid Syaikh Ahmad Khatib Al Minankabawy
di Makkah. Semua haji itu pulang membawa bahaya. Bahaya bagi
penjajahan. Bahaya bagi penindasan. Bahaya bagi keterpecahan,
keterbelakangan, dan kebodohan.
Para haji yang kembali ke tanah air itu hampir semuanya
bergerak aktif dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan,
pemberdayaan ekonomi, pengajaran agama, penyadaran kebangsaan, serta
penguatan persatuan dan ukhuwah islamiyah.
Menurut Yudi Latif dalam
Intelegensia Muslim dan Kuasa,
bersebab kian besarnya kekhawatiran akan bahaya haji, Pemerintah
Kolonial Belanda pada tahun 1825, 1827, 1831 dan 1859 mengeluarkan
berbagai Oordonnatie yang ditujukan untuk pembatasan ibadah haji dan
memantau aktivitas mereka sekembalinya ke Tanah Air.
Puncak dari kekhawatiran Pemerintah Kolonial Belanda terhadap bahaya
dari para haji ini tampak dengan dikeluarkannya Pilgrims Ordonnantie
Staatsblad 1903 Nomer 26, Staatsblad 1922 Nomor 698, Staatsblad 1927
Nomor 508, dan Staatsblad 1931 Nomor 44. Ringkasan dampaknya antara
lain adalah:
-
Tidak boleh lagi orang-orang asing, terutama Arab, berkunjung ke daerah Indonesia karena dianggap melakukan provokasi.
-
Sultan, kaum priyayi, penguasa daerah, dan abdi dalem dilarang pergi haji, dikhawatirkan akan terpengaruh Pan-Islamisme.
-
Membuka Karantina Haji di Pulau Onrust, Teluk Jakarta.
Untuk alasan kesehatan memang di sinilah tempat penampungan para haji
untuk dipastikan tak membawa penyakit menular. Tapi tercatat pula, di
sinilah banyak para haji yang jika pulang dinilai akan menimbulkan
masalah bagi pemerintah jajahan hidupnya berakhir.
-
Mengharuskan yang sudah berhaji untuk selalu mencantumkan
gelar hajinya, agar mudah diawasi. Orang yang pergi haji hanya diberi
passpor khusus haji, agar tidak bisa pergi ke tempat lain.
-
Masjid tidak boleh dibangun di tempat-tempat ramai.
Kuburan didekatkan ke Masjid dan dihembuskanlah propaganda bahwa kuburan
itu angker agar Masjid tak menjadi pusat pergerakan, tempat kaum muda
berkumpul membahas nasib bangsa.
Disebabkan aturan inilah seorang putra Wedana di Kleco-Madiun
sekaligus cucu Bupati Ponorogo yang bernama Oemar Said meninggalkan
jabatannya sebagai ambtenaar dan bersungkal-faham dengan mertuanya. Dia
memilih untuk berhaji, dan sepulangnya ke Nusantara membesarkan Sarekat
Islam untuk menjadi Ibu bagi semua pergerakan Nasional dan rumahnya pun
menjadi tempat tinggal para pemuda yang kelak menjadi para Bapak Bangsa.
Namanya terus bergaung, sang Raja Jawa Tanpa Mahkota, Haji Oemar Said
Tjokroaminoto. Semboyannya yang berbahaya terus berkumandang:
semurni-murni tauhid, setinggi-tinggi ilmu, sepandai-pandai siasat.
Inilah para haji kita, manusia-manusia yang berbahaya bagi segala
kezhaliman, kemunkaran, dan kekejian. Kedatangan mereka ke tanah air
dinantikan untuk menghabisi penindasan, keterpecahan, keterbelakangan,
dan kebodohan. Kedatangan mereka ke tanah air harus menjadi tonggak
perubahan sosial, perbaikan ekonomi, pembinaan moral, peningkatan taraf
pendidikan, kesehatan, serta kemakmuran.
Selamat datang kembali di tanah air jama’ah haji
Indonesia. Selamat menjadi manusia berbahaya. Selamat berkiprah berdarma
bakti untuk ummat dan bangsa. Atau jangan kita bangga menyandang rukun
Islam agung itu di depan nama.