Rabu, 30 September 2015

Orang Jepang Naik Haji

Oleh : Junanto Herdiawan
Kompasiana.com

“Subarashi! Subarashi!” atau “Luar Biasa!”, adalah kata yang berulangkali diucapkan oleh Omar-san, orang Jepang dalam kloter haji kami. Kalimat itu diucapkannya saat melihat Ka’bah dan melakukan gerakan memutarinya selama tujuh kali (thawaf). Bersama dengan Omar-san, ada 10 orang Jepang lain yang ikut berangkat haji tahun ini dari rombongan jamaah haji embarkasi Jepang. 

Bagi Omar-san, yang baru memeluk Islam sekitar 3 tahun lalu, ini adalah kali pertamanya ia naik haji. Ia begitu kagum dan terkesima dengan masifnya jumlah jamaah haji dari berbagai penjuru dunia yang datang pada saat bersamaan dan melakukan ritual haji yang sama. Omar-san, yang tidak mau memberitahukan pada saya nama asli Jepangnya, menganggap ada satu kekuatan besar yang mampu membawa berjuta-juta orang tersebut secara sukarela untuk datang ke tanah suci ini. Hal itulah yang membuatnya terpana di depan Ka’bah.

Berangkat haji bersama orang Jepang adalah hal yang menarik bagi saya. Bagaimana tidak, selama tinggal di Jepang, saya jarang melihat orang Jepang yang beragama Islam (ataupun beragama lainnya, seperti Kristen atau Yahudi). Kebanyakan orang Jepang memang tidak memilih satu agama tertentu. Mereka kebanyakan menganut ajaran Shinto yang lebih bersifat budaya ketimbang sebuah agama.
Di sisi praktis sehari-hari, sebenarnya orang Jepang sudah berperilaku lebih dari orang beragama. Mereka sangat santun, sabar, bersih, tekun, disiplin, dan tertib dalam bermasyarakat. Semua ajaran agama yang menganjurkan kebaikan dan perilaku terpuji telah mereka terapkan tanpa harus memeluk suatu agama tertentu. Hal itu bisa dilihat secara nyata dalam kehidupan masyarakat Jepang. Mereka tertib mengantri, berlalu lintas dengan santun, menjaga fasilitas umum tetap rapi dan bersih, membuang sampah di tempatnya, dan saling membantu dengan tulus.

Kisah-kisah pascatsunami dan bencana gempa bumi pada Maret 2011 lalu menjadi sekian banyak contoh tentang tingginya adab dan perilaku masyarakat Jepang. Di negeri yang beragama sekalipun, saat bencana, perilaku yang muncul kadang tidak agamis (menumpuk barang kebutuhan pokok, menjarah, menaikkan harga semena mena, dan saling merugikan sesama). Hal itu tidak terjadi di Jepang saat bencana tsunami lalu.

Agama, memang datang ke dunia untuk memperbaiki akhlak, atau perilaku manusia. Sayapun bertanya pada Omar-san, apabila akhlak di masyarakat sudah baik, masih perlukah orang Jepang memeluk agama.
Menurutnya, Jepang memang sebuah masyarakat yang tertata baik dan aplikatif dari ajaran agama. Namun pada ujungnya, manusia tetap membutuhkan tambatan hati. Sebuah oase tempat mengadu dalam keadaan sendiri, baik suka maupun duka. Sebuah tautan kala sedang dirundung beragam masalah dan tekanan dunia. Tanpa agama, berbagai pelarian dicari oleh orang Jepang untuk mencari ketenangan hati. Jadi, menurut Omar san, orang Jepang masih memerlukan agama.

Hal itulah yang melatarbelakangi Omar-san untuk memeluk agama. Ia mengatakan bahwa setelah beragama, ia menemukan ketenangan hati dan kedamaian jiwa. Meski demikian, banyak orang yang bertanya padanya, tidakkah sulit menjadi Islam di Jepang.
Permasalahan bagi orang Jepang dalam memeluk Islam bukan pada masalah ideologi, namun lebih pada urusan praktikalitas ritual. Menjalankan ibadah sholat sebanyak lima kali sehari, puasa selama sebulan, dan melaksanakan ibadah haji, adalah aktivitas yang sangat sulit dilakukan dalam lingkungan orang Jepang. Bangsa Jepang adalah pekerja keras. Kalau kita bekerja di perusahaan Jepang misalnya, sulit mendapat dispensasi ijin sholat pada waktunya, apalagi cuti melakukan ibadah haji. Nyaris mustahil untuk dikabulkan. Belum lagi soal pilihan makanan halal yang amat jarang didapatkan di Jepang. 

Namun berbeda dengan dunia barat yang memiliki prejudice tentang Islam, di Jepang pandangan masyarakat tentang Islam secara umum tidak seburuk di barat. Bagi orang Jepang, agama apa saja dipandang baik, karena ajaran setiap agama adalah mengarah pada kebaikan. Oleh karena itu, Islam lebih gampang diterima banyak orang Jepang.


Selain Omar-san, ada dua orang Jepang lainnya yang sering berdiskusi dengan saya saat ibadah haji kemarin. Kebetulan saya tinggal satu tenda dengan mereka, saat di Mina maupun saat wukuf di Arafah. Mereka adalah Saif Takehito dan Muhammad Syarief. Keduanya telah mengganti atau mencampur nama asli Jepangnya dengan nama Islam.
Saif Takehito adalah seorang diplomat Jepang yang bekerja di Kedutaan Besar Jepang di Dubai. Ia jago berbahasa Arab dan ahli membaca Al Qur’an (saya saja sampai minder mendengar ia membaca Qur’an). Sementara Muhammad Syarief adalah seorang wirausaha yang tinggal di Tokyo.
Karakter dan kultur dari orang Jepang yang baik dan santun tersebut, tercermin saat mereka menjalankan ibadah haji. Dalam kondisi apapun, mereka tetap diam dan sabar. Persis saat mereka menghadapi bencana alam bulan Maret lalu. 

Tekanan terbesar dari ibadah haji adalah soal kesabaran. Mulai dari kedatangan di Arab, prosesi ibadah, kehidupan sehari-hari, hingga kembali ke Jepang, ujian kesabaran datang silih berganti. Banyak dari kita yang kadang lepas kontrol, lalu marah-marah dan malah beradu mulut dengan jamaah lain. Tapi saya melihat para jamaah haji dari jepang memiliki kesabaran yang tinggi. Padahal mereka dihadapkan pada kondisi yang bertolak belakang dengan keadaan negaranya yang tertib dan teratur. 

Suatu malam di Mina, terjadi kekacauan di maktab (kelompok tenda) kami. Saat kembali dari melempar jumrah, tenda rombongan kami dipindahkan pengelola maktab tanpa sepengetahuan kita semua. Akibatnya, barang-barang kami semua tercecer, bahkan ada yang kehilangan peralatan-peralatan personalnya. 

Beberapa jamaah haji dari negara lain ada yang marah-marah dan menyalahkan panitia karena tidak menjaga barangnya. Ada yang menuding-nuding panitia, bahkan sampai ingin menuntut ganti rugi. Salah satu jamaah malah hampir beradu mulut dengan saya, karena ia menganggap saya tidak memberi lokasi tempat tidur untuknya. Masya Allah!
Mereka sampai harus ditenangkan oleh kita semua yang ada di tenda, “Sabar haji… Sabar.. Istighfaar.. This is Hajj”. Barulah kemudian mereka mengucapkan istighfar dan meminta maaf pada kita semua karena menimbulkan kekacauan di tenda.

Sementara itu saya melihat Muhammad Syarief kehilangan sleeping bag-nya malam itu. Ia hanya celingak celinguk saat banyak jamaah protes. Tapi ia diam saja tanpa protes dan tidak mengeluh. Padahal kakinya bengkak karena melepuh saat berjalan di Mekah sebelumnya. Ia malah menggelar handuk dan tidur langsung di karpet dalam diam. Simpati jamaah di tenda kami pun diarahkan pada dirinya. Kamipun meminjamkannya sleeping bag, memberinya obat dan makanan, serta menawarkan lokasi tidur yang nyaman. Semua jamaah simpati pada kesantunan orang Jepang ini. 

Hal serupa saya perhatikan dari diri Saif Takehito. Suatu malam kita harus menunggu di Arafah hingga menjelang tengah malam. Saat itu ada kecelakaan bis sehingga semua jalan menuju Muzdalifah ditutup. Akibatnya, bis rombongan kita tertunda keberangkatannya ke Muzdalifah. Banyak jamaah di kelompok kami yang beradu mulut dan berdebat. Mereka merasa harus tiba di Muzdalifah sebelum tengah malam dan melakukan sholat dua rakaat, sesuai sunah Nabi. Pimpinan rombongan mengatakan bahwa dalam kondisi darurat, sholat bisa dilaksanakan di Arafah. Tapi banyak jamaah yang tidak terima, perdebatan pun terjadi bahkan cenderung memanas. 

Saif Takehito saya lihat hanya duduk saja di bawah pohon sambil berulangkali melafazkan nama-nama Allah (berdzikir). Saat saya tanya bagaimana pendapatnya, Saif berkata banyak hal yang terjadi di luar kehendak manusia, kita sebagai manusia tak bisa berbuat apa. Semua kehendak Allah. Jadi janganlah kita saling berbantahan, kita harus bersabar dan ikuti perintah pimpinan kita. Masya Allah, kita semuapun jadi malu oleh ucapan dari orang Jepang yang notabene baru memeluk Islam tersebut.

Meski orang Jepang dihadapkan pada suasana yang jauh berbeda dengan negerinya, mereka ternyata bisa memahami dan tetap bersikap sabar. Mereka tidak mengeluh dan menyalahkan keadaan. Hal tersebut memberi saya sebuah kesadaran, bahwa keber-agama-an bukan semata soal pengetahuan. Akhlak dan perilaku baik, terbentuk bukan saja dari pengetahuan, tapi lebih pada kebiasaaan. 

Orang Jepang sejak kecil sudah dibiasakan dan dididik berbuat baik, sabar, dan memerhatikan kepentingan orang lain. Di sekolah, di rumah, di masyarakat, ajaran dan yang dilihat sama. Sementara banyak orang beragama yang hanya diajarkan dan diminta menghafalkan cara berbuat baik dan sabar.
Itulah sebabnya dulu Nabi senantiasa berkata, “Biasakanlah berbuat baik, biasakanlah berbuat baik…” Bukan menghafal perbuatan baik, tapi membiasakan berbuat baik. Tentu tujuannya agar kita menjadi orang baik, yang sebaik-baiknya.

HAJI : Manusia Berbahaya


“..Kabar-kabar tentang Paduka telah sampai pada kami bersinar bagai permata. Tetapkanlah hati. Paduka akan beruntung jika Paduka bekerja semata karena takwa pada Allah. Janganlah takut akan kemalangan dan jauhilah segala perbuatan jahat. Jika orang melakukan yang demikian, akan dia temukan surga tanpa awan dan bumi tanpa kotoran..”
haji2Surakarta, 1772.
Tiga surat berbahasa Arab beserta bendera bertulis “La ilaha illallah” yang diserahkan Patih Kasunanan, Raden Adipati Sasradiningrat itu menggemparkan kediaman Residen F.C. Van Straalendorff. Salinan terjemah dari salah satu nawala yang kemudian dikirim ke Batavia bahkan membuat Gubernur Jenderal VOC, Petrus Albertus van der Parra (1761-1775) sukar tidur, meski Sasradiningrat bersumpah bahwa tak seorang Jawapun yang telah membaca surat itu selain dia dan carik (sekretaris)-nya.
Penulis surat itu tinggal nun jauh di Makkah. Namanya Syaikh ‘Abdushshamad Al Jawi Al Falimbani (1704-1789), seorang ‘ulama besar di Masjidil Haram kelahiran Palembang, penulis berbagai kitab dan yang terpenting untuk disebut di sini di antaranya berjudul Nashihatul Muslimin wa Tadzkiratul Mu’minin fi Fadhailil Jihadi wa Karamatil Mujahidin (Nasehat orang-orang muslim dan pengingat orang-orang mukmin tentang keutaman jihad dan kemulian para mujahid).
Susuhunan Pakubuwana IIIAlamat yang dituju adalah tiga anggota Wangsa Mataram yang paling berkuasa di Jawa; Kangjeng Sultan Hamengkubuwana I (1755-1792) di Yogyakarta, Sri Susuhunan Pakubuwana III (1749-1788) di Surakarta, dan Pangeran Miji Mangkunegara (1757-1795).

Yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa oleh Carik Kertabasa adalah surat untuk Mangkunegara, yang lalu dialihmakna ke Bahasa Belanda untuk dikirim pada Gubernur Jenderal. Sejarawan Merle C. Ricklefs dalam karyanya, Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792, menduga bahwa surat untuk Mangkunegara inilah yang paling menghasut, mengingat Sang Pangeran “angkuh dan mudah berkelahi” serta “lebih cenderung menggunakan kekerasan” karena “milik yang dipertaruhkannya paling kecil dan berharap mendapat lebih besar jika terjadi pergolakan”.
Tapi patut pula diduga, surat untuk Susuhunan Surakarta, dan terutama Sultan Yogyakarta yang pernah membuat VOC berdarah-darah dalam Perang Palihan Nagari (1746-1755) tak kalah seru isinya. Bahkan konon surat untuk Sultan disertai hadiah air zam-zam sebagaimana dahulu moyangnya Sultan Agung (1613-1645) menerimanya dalam Enceh Kyai Mendung dari Sultan ‘Utsmani, Murad IV (1623-1640) dan Syarif Makkah, Zaid ibn Muhsin Al Hasyimi (1631-1666). Tentu saja, atas perintah Batavia semua surat itu segera dihancurkan agar tak bocor isinya.

“..dan karena Paduka adalah keturunan Raja-raja Mataram yang dianugerahi berkat Allah dan RasulNya. Maka keadilan Paduka sudah diketahui di  mana-mana. Lagi pula sudilah hendaknya Paduka membaca ayat-ayat Al Quran yang berbunyi: ‘Sedikit orang dapat mengalahkan kekuatan besar.’
Lagi pula sudilah hendaknya Paduka mempertimbangkan bahwa dalam Quran tertulis ayat-ayat yang menyatakan: ‘Bila seseorang mati dalam Perang Sabil, janganlah kalian katakan dia mati.’ Karena Allah telah berfirman bahwa jiwa orang itu masuk ke dalam badan seekor burung yang langsung membawanya ke surga.
Sultan Hamengkubuwana IDan haruslah lebih-lebih Paduka camkan, karena jiwa yang mati dalam Perang Sabil adalah bagai bunga yang harumnya tercium dari fajar sampai petang. Ya, bahkan semua Makkah dan Madinah, beserta seluruh negeri Melayu, takjub akan keharumannya..”
Dalam kutipan singkat kita membaca, betapa luar biasa perhatian Syaikh ‘Abdushshamad yang ayahnya menjadi Mufti Kesultanan Kedah ini terhadap perkembangan Nusantara dan bagaimana pemahamannya akan kewajiban ‘Ulama untuk menasehati Umara’, menegakkan amar ma’ruf-nahi munkar, serta mengobarkan jihad di Nusantara melawan kekuatan penjajah kafir.
Betapapun surat-surat ini keburu dicegat oleh Patih Surakarta yang amat setia kepada VOC dan gagal sampai pada tujuannya, tulisan kami ini hendak memberi penghargaan kepada kurir yang telah membawanya menantang bahaya, terombang-ambing di lautan dari Jeddah ke Aden ke Mascat ke Gujarat ke Sailan ke Penang ke Palembang ke Batavia ke Semarang hingga sampai di ibukota Kasunanan.
Dokumen Belanda dari salinan surat menyebut nama Haji Besari dan Haji Muhammad Idris.
Kematian Haji Besari di Surakarta sebelum sempat menyerahkan ketiga surat inilah yang menjadikan Patih Sasradiningrat berhasil ‘mengamankannya’. Adapun nasib Haji Muhammad Idris yang kemudian diburu oleh pasukan Sang Patih tidak jelas. Kabar burung menyebut dia berlindung ke wilayah Kasultanan Yogyakarta.
Inilah salah satu peristiwa mula-mula yang membuat pemerintahan VOC menyadari; mereka yang pulang dari Makkah dengan membawa gelar Haji adalah manusia berbahaya. Bahaya bagi penjajahan. Bahaya bagi penindasan. Bahaya bagi keterpecahan, keterbelakangan, dan kebodohan.
Sebab mereka yang pulang dari menunaikan rukun Islam kelima ini pastilah kuat secara sosial ekonomi, dan tentu saja beriman, tangguh fisiknya, lagi bernyali; terbukti mampu mengarungi perjalanan pergi pulang yang sukar dan berbahaya. Pun di Tanah Suci mereka pasti mendapatkan wawasan internasional, ilmu agama yang kian dalam, serta menyelami persaudaraan muslimin sedunia. Memandang keluar membaca bentang dunia luas, serta merenung ke dalam memikirkan diri dan bangsanya, jiwa-jiwa imani itu pasti akan membawa pulang nyala api perjuangan untuk tanah airnya.
Serentetan peristiwa di abad selanjutnya semakin membuat pemerintah jajahan yakin, para haji adalah manusia berbahaya. Di Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwana I dengan pemurah terus mengirimkan para pengulu, kaum, kyai, dan santri perdikan untuk berhaji. Menurut Ricklefs, pada 1776 dan 1781 Sultan memberangkatkan rombongan haji. Bahkan pada 1785, sekelompok ‘ulama ditugaskan menerima gelar resmi Sultan untuk Hamengkubuwana I dari Syarif Makkah, disertai pembangunan Gedung Wakaf Mataram di dekat Masjidil Haram yang akan terus menjadi tempat tinggal para mukimin Jawa di Makkah hingga masa Hamengkubuwana VIII.
Masjid-masjid Pathok Negara-nya di Dongkelan, Babadan, Plasakuning, dan terutama Mlangi yang dipimpin putranya sendiri, Raden Mas Sandiya bergelar Kyai Nur Iman, menjadi pusat-pusat keislaman yang menarik kehadiran kaum santri. Di abad baru, Tegalreja yang dikelola permaisurinya yakni Ratu Ageng sembari mengasuh Diponegoro kecil menambah daftar pusat syiar. Di tempat-tempat inilah para calon haji biasanya bermukim beberapa bulan untuk mempersiapkan diri dan ilmu sebelum diberangkatkan.
Peter Carey dalam The Power of The Prophecy mencatat nama Haji Badaruddin, panglima pasukan santri Suronatan yang sampai dua kali berhaji. Ada pula Pengulu Keraton Pekih Ibrahim, Ketib Muhamad Bahwi, Nur Samsi, Amad Ripangi, Abdullatip, Amad Anom, Ngarpani, Amad Ngali, Amad Ngijan, Amad Masam, Amad Sangi, Nitirejo, Resomenggala, dan Kyai Pengulu Rahmanudin.
Kyai MojoDi Surakarta, Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820) lebih masyhur lagi sebagai ‘sahabat kaum santri’. Pada 1812, demikian dilaporkan kepada Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles, seperti dikutip Carey, Susuhunan punya 24 Haji Keraton dan 51 Kyai yang digajinya secara pribadi. Adik beliau, Pangeran Buminata, terkenal akan kedermawanannya pada kaum ‘ulama termasuk kepada Kyai Taptajani, juga Kyai Maja beserta saudara-saudaranya; Kyai Kasan Besari, Kyai Baderan, dan Kyai Pulukadang.

Jejaring komunitas haji, kyai, pengulu, dan santri inilah, baik yang ada di Kasultanan maupun Kasunanan, demikian disimpulkan dari Peter Carey, akan menjadi tulang punggung perlawanan dahsyat Pangeran Diponegoro kepada Pemerintah kolonial Belanda (1825-1830). Dalam daftar yang dia susun dari Babad Diponegoro Manado, Carey mencantumkan lebih dari 120 haji yang kemungkinan besar hadir di Selarong saat pembai’atan Diponegoro sebagai Sultan ‘Abdul Hamid Herucakra Kabirul Mukminin Khalifatu Rasulillah Ratu Paneteg Panatagama. Beserta mereka, demikian dicatat Saleh As’ad Djamhari dalam Strategi Menjinakkan Diponegoro, ada lebih dari 15 Syeikh, puluhan Kyai besar dan Pengulu, serta ratusan Kyai desa.
Sekali lagi, para haji adalah manusia-manusia berbahaya. Bersama Diponegoro mereka menguras 20 Juta Gulden kas penjajah, serta menewaskan 15.000 pasukan Belanda.
Tentu saudara-saudara mereka di Sumatera tak kalah greget. Tiga nama jamhur; Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari VIII Kota, dan Haji Piobang dari Tanah Datar sebagai cikal bakal Gerakan Padri telah amat masyhur. Perubahan yang mereka bawa, dari memurnikan pengamalan agama di Minangkabau hingga perang besar melawan tentara kolonial Belanda, 1803-1838, amat nyata.
Abad selanjutnya mencatat nama Haji Ahmad Dahlan yang mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah, Haji Hasyim Asy’ari yang membidani Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, Haji Rasul dengan Sumatera Tawalib, dan jejaring jama’ah haji yang menjadi murid-murid Syaikh Ahmad Khatib Al Minankabawy di Makkah. Semua haji itu pulang membawa bahaya. Bahaya bagi penjajahan. Bahaya bagi penindasan. Bahaya bagi keterpecahan, keterbelakangan, dan kebodohan.
Para haji yang kembali ke tanah air itu hampir semuanya bergerak aktif dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, pengajaran agama, penyadaran kebangsaan, serta penguatan persatuan dan ukhuwah islamiyah.
Pulau OnrustMenurut Yudi Latif dalam Intelegensia Muslim dan Kuasa, bersebab kian besarnya kekhawatiran akan bahaya haji, Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1825, 1827, 1831 dan 1859 mengeluarkan berbagai Oordonnatie yang ditujukan untuk pembatasan ibadah haji dan memantau aktivitas mereka sekembalinya ke Tanah Air.

Puncak dari kekhawatiran Pemerintah Kolonial Belanda terhadap bahaya dari para haji ini tampak dengan dikeluarkannya Pilgrims Ordonnantie Staatsblad 1903 Nomer 26, Staatsblad 1922 Nomor 698, Staatsblad 1927 Nomor 508,  dan Staatsblad 1931 Nomor 44. Ringkasan dampaknya antara lain adalah:
  1. Tidak boleh lagi orang-orang asing, terutama Arab, berkunjung ke daerah Indonesia karena dianggap melakukan provokasi.
  2. Sultan, kaum priyayi, penguasa daerah, dan abdi dalem dilarang pergi haji, dikhawatirkan akan terpengaruh Pan-Islamisme.
  3. Membuka Karantina Haji di Pulau Onrust, Teluk Jakarta. Untuk alasan kesehatan memang di sinilah tempat penampungan para haji untuk dipastikan tak membawa penyakit menular. Tapi tercatat pula, di sinilah banyak para haji yang jika pulang dinilai akan menimbulkan masalah bagi pemerintah jajahan hidupnya berakhir.
  4. Mengharuskan yang sudah berhaji untuk selalu mencantumkan gelar hajinya, agar mudah diawasi. Orang yang pergi haji hanya diberi passpor khusus haji, agar tidak bisa pergi ke tempat lain.
  5. Masjid tidak boleh dibangun di tempat-tempat ramai. Kuburan didekatkan ke Masjid dan dihembuskanlah propaganda bahwa kuburan itu angker agar Masjid tak menjadi pusat pergerakan, tempat kaum muda berkumpul membahas nasib bangsa.

hajiDisebabkan aturan inilah seorang putra Wedana di Kleco-Madiun sekaligus cucu Bupati Ponorogo yang bernama Oemar Said meninggalkan jabatannya sebagai ambtenaar dan bersungkal-faham dengan mertuanya. Dia memilih untuk berhaji, dan sepulangnya ke Nusantara membesarkan Sarekat Islam untuk menjadi Ibu bagi semua pergerakan Nasional dan rumahnya pun menjadi tempat tinggal para pemuda yang kelak menjadi para Bapak Bangsa. Namanya terus bergaung, sang Raja Jawa Tanpa Mahkota, Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Semboyannya yang berbahaya terus berkumandang: semurni-murni tauhid, setinggi-tinggi ilmu, sepandai-pandai siasat.
Inilah para haji kita, manusia-manusia yang berbahaya bagi segala kezhaliman, kemunkaran, dan kekejian. Kedatangan mereka ke tanah air dinantikan untuk menghabisi penindasan, keterpecahan, keterbelakangan, dan kebodohan.  Kedatangan mereka ke tanah air harus menjadi tonggak perubahan sosial, perbaikan ekonomi, pembinaan moral, peningkatan taraf pendidikan, kesehatan, serta kemakmuran.
Selamat datang kembali di tanah air jama’ah haji Indonesia. Selamat menjadi manusia berbahaya. Selamat berkiprah berdarma bakti untuk ummat dan bangsa. Atau jangan kita bangga menyandang rukun Islam agung itu di depan nama.